Kamis, 23 Februari 2012

Imam Ghozali dari Persia

Kata-kata yang digunakan untuk menunjuk”keadaan” Sufisme hanyalah perkiraan-perkiraan.

(Kalabadzi)

Selama orang-orang Normandia melakukan konsolidasi kekuasaannya di Inggris dan Sicilia, dan selama aliran pengetahuan Arab ke Barat terus meningkat melalui Arab Spanyol dan Italia, saat ini kekuasaan Islam telah berlangsung tak kurang dari lima ratus tahun lamanya. Puncak keilmuan yang tak seimbang –yang fungsi-fungsinya telah dilarang oleh hukum agama, tetapi dalam kenyataan memiliki kekuatan yang besar– berupaya untuk mencoba mendamaikan metode filsafat Yunani Kuno (Greek) dengan al-Qur’an dan Sunnah-sunnah Nabi saw. serta menerima Skolastisisme sebagai metode untuk menafsir agama. Para ahli dialektika belum mampu menemukan diri mereka untuk mendemonstrasikan kebenaran dan kepercayaan-kepercayaan mereka dengan makna-makna intelektual. Masyarakat lewat sirkulasi pengetahuan telah tumbuh melampaui dialektika formal. Kondisi ekonomi yang sangat baik telah menghasilkan intelektualitas yang luas, melampaui kebutuhan terhadap jaminan-jaminan dogmatik. Atau melampaui pernyataan bahwa, “negara harus benar”. Islam telah menjadi negara. Islam tampak seperti akan jatuh berkeping-keping.

Seorang pemuda Persia, negeri permadani, yang dikenal dengan Muhammad al-Ghazali (seorang pemintal benang), hidup yatim sejak masih kecil dan dididik sebagai Sufi di sebuah universitas di Asia Tengah yang ada saat itu. Ia ditakdirkan untuk memperoleh dua hal yang luar biasa, sebagai akibat dari dimana dua agama, Islam dan Kristen menghasilkan beberapa karakteristik yang hingga kini tetap dimiliki.

Islam ortodoks telah menentang Sufisme yang dianggap mencoba mengabaikan hukum dan menggantikannya dengan “pengalaman personal” mengenai makna agama yang sebenarnya. Hal itu dianggapnya sebuah idea sangat bid’ah. Tetapi Muhammad al-Ghazali benar-benar telah menjadi seorang yang mampu mendamaikan Islam dengan intelektualisme dan memperbaiki kepercayaan-kepercayaan pokok Asy’ariyah serta membentuk diktum-diktumnya sebagai kepercayaan Islam universal, sebagaimana dikatakan oleh Profesor Hitti. Betapa suksesnya pembuat bid’ah ini dalam proses menjadi penemu kebenaran bagi ‘gereja’ Muslim, hingga kebanyakan masyarakat ortodoks memberinya titel akademik tertinggi yang terkenal dengan “Hujjatul Islam” (the Authority of Islam, Pembela Islam).

Setelah lima puluh tahun lamanya tulisan mereka, buku-bukunya menyebarkan pengaruh yang sangat besar terhadap Skolastisisme Yahudi dan Kristen. Ia tidak hanya mendahului mode yang luar biasa dari Holy War dan Pilgrim’s Progress-nya John Bunyan, tetapi juga mempengaruhi Ramon Marti, Thomas Aquinas dan Pascal, sebaik sejumlah pemikir-pemikir modern.

Buku-buku seperti Tahafutul-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf, Kimiyya’us-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) dan Misykatul-Anwar (Relung Cahaya) terus dipelajari secara seksama dan mengandung ajaran-ajarannya yang besar.

Pada Abad Pertengahan di Eropa ia dikenal dengan Algazel. Abu Hamid Muhammad al-Ghazali telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak dari catatan-catatan seorang penulis. Para ahli teologi Kristen dengan senang hati menyerahkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada pemikir-pemikir Muslim, dan al-Ghazali memberikan jawaban-jawabannya kembali dan mencapai apa yang oleh Profesor Hitti disebut jawaban mystico-psychological Sufi. Posisi Sufisme yang diterima dan dikenal oleh banyak Muslim yang dianggap sebagai makna inti Islam adalah hasil langsung dari karya al-Ghazali.

Idea-idea yang disampaikan oleh al-Ghazali dan telah mempengaruhi St. Thomas Aquinas the Dominican dan St. Francis of Assisi, masing-masing dengan caranya sendiri, telah menyebabkan kebingungan di pikiran para pemikir Mistisisme Barat yang terus menahan sakit hingga kini. Bagi Sufi, aliran al-Ghazali dalam dua tekanan yang berbeda terlihat dengan jelas di dalam dua aliran Intelektual Dominican dan aliran Intuitif Franciscan. Dua pengaruh yang berbeda akibat gejala adaptasi dan spesialisasi dalam satu metode Sufi itu begitu definitif sedemikian jelasnya, bahkan sekalipun salah satunya tidak mengetahui sumber-sumber inspirasi yang dipakai oleh dua guru Kristen di atas, itu akan baik sekali untuk diidentifikasi aliran Sufinya.

Evelyn Underhill (Mysticism) telah mengatur untuk mengungkapkan kesatuan fondasi aliran-aliran yang tampak berbeda pada dua madzhab Kristen itu. Tampaknya tanpa mendengarkan pengaruh-pengaruh Sufi terhadap Mistisisme Kristen, ia bisa mencatat bahwa dua aliran Dominican dan Franciscan secara mendasar berakar dalam perenungan dan “akibat kemampuan menafsir dunia Abad Pertengahan yang merupakan tradisi spiritual besar masa lalu.”

Al-Ghazali, dengan menggunakan konsep Sufi bahwa semua religiusitas dan aktivitas psikologis secara esensial adalah alam yang sama, dengan menampilkan kembali tradisi yang berlaku yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh individu-individu tertentu, telah mencapai posisi dimana ia mampu menyajikan dua hal: dunia mistik dan teologis secara sempurna dalam konteksnya. Dalam pekerjaan itu, ia mampu mendemonstrasikan bagian dalam dari realitas agama dan filosofi (inner reality of religion and philosophy) dalam cara sedemikian sebagai seruan bagi para penganut setiap keyakinan (keimanan). Konsekuensinya, walaupun pekerjaannya telah dihormati oleh para pengikut dari berbagai tradisi yang berbeda, ada kecenderungan yang salah untuk menganggap bahwa ia telah mengusahakan pemaduan agama. Seorang ahli teologi Kristen, Dr. August Tholuck, termasuk yang beranggapan demikian, ketika ia menyetujui bahwa tulisan-tulisan al-Ghazali sesuai dengan agama Kristen. Pertanyaan-pertanyaan Tholuck tentang materi itu patut dicatat dengan seksama, ketika memberikan sebuah contoh yang luar biasa tentang bentuk pemikir “gajah di tempat gelap” yang tak mempercayai sebuah sumber tunggal untuk semua pengajaran metafisika yang jujur, dan harus mencoba memberikan penjelasan tentang bahan-bahan beberapa penampilan baru dari seorang guru:

“Semua itu baik, penting dan mulia, dimana jiwa besarnya telah sampai. Ia telah menganugerahkan Muhammadisme dan mempercantik doktrin-doktrin al-Qur’an dengan begitu banyak kesetiaan dan tahu bahwa dalam bentuk ajaran-ajaran yang ia berikan, tampaknya ajaran-ajaran itu, menurut pendapat saya, berharga bagi persetujuan ummat Kristen. Apa pun luar biasanya isi filsafat Aristoteles atau isi mistisisme Sufi, ia sangat hati-hati menyesuaikannya dengan teologi Muhammad. Dari tiap madzhab ia mencari makna-makna pancaran sinar dan kemurnian agama, pada saat kesetiaannya yang tulus dan kesadarannya yang tinggi menyebarkan sebuah kemuliaan yang suci ke dalam semua tulisannya.”

Sulit ada sesuatu yang mampu menggerakkan intelektualitas peneliti untuk mempercayai bahwa semua yang ia pelajari terbentuk dari sesuatu yang tambal sulam.

Pada suatu waktu, ketika hanya sedikit ahli agama yang mampu dengan seksama mengkaji sebuah Hadis Rasul secara benar, itu pun hanya terbatas pada orang-orang tua, al-Ghazali telah diangkat sebagai seorang Profesor pada universitas terkenal, Nizhamiyah di Baghdad, saat ia berusia tiga puluh tiga tahun. Intelektualitasnya benar-benar berada di tingkatan yang sulit dilampaui dalam Islam. Baginya, obyek pendidikan yang sebenarnya tidak semata untuk memberikan informasi, tetapi juga memberikan stimulasi terhadap kesadaran batin, sebuah konsep yang sangat revolusioner bagi pengajaran yang ada saat itu. Ia telah mengemukakan teorinya itu dalam bukunya, Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama). Dibanding Rumi (yang baru menyatakan tentang batas-batas puisi setelah menjadi penyair besar), al-Ghazali saat itu telah mampu menunjukkan keterpelajarannya. Tak kurang dari tiga ratus ribu Hadis Nabi saw. ia hafal, dan telah mendapat predikat Hujjatul-Islam (Pembela Islam).

Kekuatan-kekuatan intelektualnya yang telah menyatu dengan kegelisahan pikirannya, seperti yang ia kemukakan dalam tulisan-tulisan otobiografinya, membuatnya melakukan penyelidikan tanpa kenal lelah pada setiap dogma dan doktrin yang ia rasakan bertentangan. Ini semua dilakukan pada saat ia masih muda belia.

Selama masih mengajar, al-Ghazali telah membuat kesimpulan bahwa canon law, prinsip utama hukum (seperti yang telah ia tulis dalam buku-buku yang terpercaya) adalah basis yang tak cukup untuk mewadahi realitas, dan ia pun jatuh ke dalam Skeptisisme.

Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, al-Ghazali menggunakan dua belas tahun periode darwisnya — untuk mengembara dan melakukan meditasi, kembali ke latar belakang Sufinya untuk menemukan jawaban-jawaban yang tidak ia dapati dari dunia kebiasaan yang berlaku.

Ia mengaku bahwa telah menjadi seorang yang egois, dan sangat merindukan pujian dan pengakuan. Ketika menyadari bahwa dirinya telah menjadi sebuah penghalang dalam mencapai pemahaman yang benar, ia tidak secara mendadak merendahkan diri memilih “jalan gelap”, sebagai obat untuk segala penyakit yang menawarkan jalan menuju banyak mistik. Ia menetapkan, bahwa akan menggunakan pengembangan kesadaran agar sampai pada kebenaran obyektif

Selama periode melepaskan urusan-urusan duniawi, setelah melepaskan karirnya sebagai seorang terpelajar, dimana ia telah menyelamatkan teologi Muslim dari kerusakan, al-Ghazali menceritakan bagaimana ia berjuang melawan penguasaan dirinya. Ia telah mengembara di sepanjang wilayah Timur, untuk berziarah ke tempat-tempat suci dan mencari pencerahan serta kejelasan makna di dalam cara kaum Sufi (kaum Darwis), setiap kali ia memasuki sebuah masjid. Pada khotbahnya, sang Imam selalu mengakhiri ceramahnya dengan kata-kata, “Demikian Imam kita al-Ghazali mengatakan.”

Sufi yang mengembara itu berkata kepada dirinya sendiri, “Duhai penguasaan diri, betapa nikmat kau dengar kata-kata itu. Sebelum kuceritakan kenikmatan ini berulangkali, aku telah meninggalkan tempat ini dengan segera, untuk pergi ke tempat yang tak ada seorang pun bicara tentang al-Ghazali.”

Ahli teologi, yang telah menerima master di luar bidang-bidang keagamaan, tahu bahwa kesadaran tentang hal yang boleh jadi telah menjadi maksud dari istilah “Tuhan” adalah sesuatu yang hanya dapat diapresiasikan dengan makna-makna batin, bukan didapat melalui kerangka aneka keagamaan formal.

“Aku telah berkunjung ke Syria,” katanya, “dan berdiam di sana selama dua tahun. Tak ada obyek lain kecuali mencari kesunyian, mengalahkan kepentingan diri, berjuang melawan nafsu, mencoba menjernihkan jiwa untuk menyempumakan watakku.” Ia melakukan itu karena Sufi tidak bisa masuk ke pemahaman kecuali hatinya telah siap “bermeditasi dengan Tuhan,” sebagaimana dikatakannya.

Periode saat itu hanya cukup memberikan kepadanya pancaran-pancaran sporadis pemenuhan spiritual (rasa awal) — tingkatan yang dipertimbangkan oleh sebagian besar ajaran-ajaran mistik non-Sufi untuk menjadi puncak, tetapi kenyataannya itu hanya merupakan langkah awal.

Hal itu menjelaskan kepadanya bahwa, “Para Sufi itu bukan orang-orang yang hanya berbicara, melainkan berpersepsi batin.” “Aku telah mempelajari bahwa semua itu dapat dipelajari dengan membaca. Tetapi kelanjutannya tidak bisa diperoleh dengan studi atau bicara.”

Walaupun telah dibingungkan oleh percobaan-percobaan ekstatiknya dalam memikirkan semuanya itu dan akhir dari semua penjelajahan mistik, al-Ghazali sadar bahwa “penyerapan Tuhan, sebagaimana disebut, yang telah dianggap menjadi tujuan Sufi, kenyataannya hanyalah merupakan permulaan.”

Ia mengakhiri intelektualisine dan skolastisismenya, karena sadar bahwa semua itu adalah sebuah akhir, dan dengan demikian ia akan mampu menyelesaikan tangga-tangga pendahuluan yang dapat menyeberangkan pengalaman-pengalaman mistik ke dalam sebuah kesadaran final. Ia dapat melakukan semua itu karma telah memperoleh apa yang ia cari — sebuah bentuk pengenalan, mirip sebuah pancaran sinar langsung, yang telah memberikan sebuah perasaan keyakinan dan makna-makna untuk mencapai kesadaran tertinggi (ultimate realization). “Ini adalah sesuatu,” katanya melukiskan persepsinya, “yang secara khas mirip seseorang yang benar-benar telah meraba sebuah obyek.”

Menceritakan kebahagiaan dan kesempurnaan tentang sebuah proses transmutasi alkimia dari kesadaran manusia, al-Ghazali mengemukakan sebuah cerita tentang Bayazid (al-Bisthami), seorang guru Sufi klasik pertama, dalam bukunya Kimiyya’us-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), untuk menekankan bagaimana amour propre (penguasaan diri) harus dilihat pertama dalam pancaran sinar yang nyata, sebelum pembersihan yang lain benar-benar dikerjakan:

Seseorang mendatangi Bayazid dan bertutur bahwa ia telah berpuasa dan beribadah selama tiga puluh tahun. Tetapi ia belum dekat pada pengenalan Tuhan. Bayazid menjawab, “Walaupun seratus tahun tak akan pernah cukup.” Orang itu bertanya, “Mengapa?”

“Karena keakuanmu telah menjadi penghalang antara dirimu dan kebenaran.”

“Berikan aku penyembuhnya!”

“Ada obatnya, tetapi ini tidak cocok untukmu.”

Laki-laki itu memaksa minta. Dan Bayazid setuju untuk menjelaskan.

“Pergilah dan cukur jenggotmu. Buka dirimu dan telanjangi, kecuali pakaian bagian pinggul ke bawah. Isi sebuah karung makanan penuh dengan buah walnut (sejenis kenari) dan pergilah ke pasar terbuka. Berteriaklah di sana, ‘Sebuah walnut untuk setiap anakyang menamparku!’ Lalu baliklah engkau menuju ke sidang di mana doktor-doktor hukum sedang mengadakan sidang!”

“Tetapi, sungguh, aku tidak bisa melakukan itu. Tunjukkanlah kepadaku cara-cara lain!”

“Hanya itu caranya,” kata Bayazid, “tetapi aku belum selesai menjelaskan semua, tak ada jalan lain untukmu.”

Al-Ghazali seperti guru-guru zuhud lainnya, mempertahankan bahwa Sufisme adalah pengajaran batin semua agama, dan ia telah menggunakan banyak kutipan dari Bibel dan Apocrypha untuk menetapkan pendiriannya. Ia telah menulis sebuah kritik awal tentang pemutarbalikan dalam idea-idea Kristen, “Al-Qaul al-Jamil fir-Radd ‘ala Man Ghayyaral Injil” (Pendapat Baik untuk Memberi Bantahan terhadap Orang yang Mengubah Injil). Sebagai konsekuensinya, tentu ia setuju berada di bawah pengaruh Kristen. Kenyataannya, setidak-tidaknya ia memang demikian, yang bahkan BBC (British Broadcasting Corporation) ketika pada kesempatan tertentu menggunakan cerita-cerita Sufi untuk program agamanya di pagi hari, mungkin saja mengambilnya dari sumber-sumber sekunder, dan menggunakannya dalam makna esoterik mereka bila sesuai dengan nilai-nilai Kristen.

Al-Ghazali telah dituduh mengkhotbahkan sesuatu dan di belakang layar mengajarkan sesuatu yang lain. Itu adalah kebenaran yang tak diragukan, jika diterima bahwa ia telah menganggap Sufisme aktif sebagai sebuah tanggung jawab khusus yang hanya cocok untuk sejumlah orang tertentu yang memiliki kemampuan untuk menerima “Kepandaian”. Aspek-aspek doktrinal dan eksternal Islam yang ia umumkan dengan ortodoksi yang benar-benar sempurna, telah diperuntukkan bagi mereka yang tidak dapat mengikuti batin “Jalan Sufi”.

Insan Kamil (Manusia Sempurna) itu, karena hidupnya dalam waktu yang bersamaan berdimensi beda, harus mengikuti lebih dari satu perangkat doktrin. Seseorang yang berenang menyeberangi sebuah danau akan melakukan gerakan-gerakan, dan bereaksi terhadap apa yang ia lihat, yang berbeda dengan seseorang yang menuruni sebuah bukit, misalnya, Ia manusia yang sama; dan ia mengerahkan seluruh kemampuan renangnya ketika menyeberang.

Dengan keberanian luar biasa ia benar-benar mengemukakan hal itu dalam bukunya, Mizanul Amal (Timbangan Amal).

Insan Kamil memiliki tiga bingkai kepercayaan:

Pada lingkungannya.
Pada yang ia berikan kepada murid-murid dalam menyesuaikan dengan kapasitas pemahaman mereka.
Pada yang ia pahami dari pengalaman-pengalaman batin; hal ini untuk diketahui oleh sebuah kelompok khusus.

Bukunya, Misykatul Anwar (Relung Cahaya) adalah sebuah ulasan tentang Ayat Cahaya dalam al-Qur’an yang sangat populer, juga sebuah gambaran pengertian awal tentang Ayat tersebut.1

Ia menjelaskan bahwa segala sesuatu memiliki arti “bagian luar” dan arti “bagian dalam”. Keduanya tidak dapat beroperasi bersama-sama, walaupun keduanya bekerja secara konsisten dalam berbagai segi masing-masing. Versi yang berlaku dalam kelompok-kelompok umum, itu benar, tidak mengandung penafsiran yang dirancang oleh perwakilan-perwakilan persaudaraan kaum darwis yang ada; tetapi itu hanya karena kunci untuk membuka buku yang luar biasa itu tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata, karena ia merupakan sebuah bentangan pengalaman pribadi. Dengan kata lain, itu hanya bisa dipahami bila dialami.

Kenyataan ini, suatu dasar dalam Sufisme dan ditentukan oleh banyak penulis Sufi, boleh jadi bisa dipahami dengan mudah oleh pemikir-pemikir formal. Dalam sebuah terjemahan Misykatul Anwar yang digarap di Inggris oleh Direktur School of Oriental Studies, Kairo, Mr. W.H.T. Gairdner mengungkapkan kesulitan memahami al-Ghazali pada materi tentang inti pengalaman berkaitan dengan kepercayaan dan ketidakpercayaan, dan banyak lagi:

“Semua itu adalah misteri-misteri dan rahasia-rahasia yang tak terkomunikasikan dari pengungkapan, dimana penulis kita (al-Ghazali) menghindari (kesudahan) pada saat yang pasti manakala kita mengharap kesimpulannya. Itulah seni yang amat tinggi — lebih dari sekadar menggiurkan. Siapakah orang-orang yang ‘Ahli’, kepada siapa ia telah mengkomunikasikan getaran-getaran rahasia itu? Apakah hal-hal yang dikomunikasikan itu pernah ditulis untuk atau oleh calon-calon anggota saudaranya?”

Al-Ghazali menyebut rahasia-rahasia yang dialami, tetapi tak dapat ditulisnya. Ia tak tergiur untuk mencobanya.

Di sana benar-benar ada empat bagian dari karya al-Ghazali. Pertama, adalah materi filsafati yang ia tempatkan sebagai penolakan terhadap intelektual-intelektual dan teolog-teolog Muslim, dengan tujuan menjaga bersama bingkai teoritik agama. Kemudian lahir ajaran-ajaran metafisiknya seperti yang terdapat dalam karya-karyanya, Misykat dan al-Kimayya’. Setelah itu ada makna-makna yang disimpan dalam bentuk simbol di dalam berbagai karya tulisnya. Terakhir, ada ajaran yang dijabarkan dari sebuah pemahaman tentang dua hal terakhir, yang sebagian disebarkan secara lisan, dan sebagian lagi mudah dicapai oleh mereka yang mengikuti karya dan pengalaman mistiknya secara benar.

Seperti halnya para Sufi klasik, al-Ghazali menulis dan menggunakan lambang dan simbol puisi. Nama julukan yang dipilihnya sendiri yang umum ia gunakan adalah “al-Ghazali”. Terutama alat ini, “Pemintal”. Julukan ini menunjuk pada “seorang pemintal”, yang mengerjakan bahan-bahan seperti wool — kata kode untuk Sufi — dan mengandung arti “kebutuhan pemintalan” atau “kerja pemintal bahan-bahan” dan “memintal dirinya sendiri”. Juga untuk mengasosiasikan profesi yang berhubungan dengan Fathimah (yang maksudnya “Pencelup”), putri Muhammad saw. Darinya seluruh keturunan Nabi Muhammad saw menggambarkan silsilah mereka. Mereka dipercayai mewarisi pengajaran batin Islam, untuk menunjuk ke mana pengajaran batin Islam itu berhubungan dengan semua tradisi metafisik yang asli.

Perhatian penuh terhadap nama-nama puitik yang dipilih itu telah ditunjukkan oleh banyak asosiasi lain tentang kerja. Al-Ghazali juga melambangkan gazelle (istilah genetik untuk jenis-jenis antelope, tipe rusa bertanduk yang larinya cepat, seperti kijang, yang merupakan kata homonim dari “pecinta”). Tiga akar huruf GH-Z-L, dari mana kata GHaZaL diturunkan, yang itu juga berasal dari istilah teknis bahasa Arab standar dan Persia untuk menyatakan sebuah puisi cinta, sebuah tanda cinta kasih. Asal kata lain yang berakar dari kata itu juga meliputi pengertian sebuah jaring laba-laba (sesuatu yang teranyam) yang merupakan suatu keadaan yang direncanakan menjadi penghubung aksi menuju iman. Aksinya adalah penganyaman sebuah jaringan yang meliputi mulut gua, tempat Muhammad dan sahabatnya Abu Bakar bersembunyi dari musuh-musuh mereka dalam suatu kesempatan (sebelum hijrah ke Madinah).

Seorang Sufi tahu tradisi-tradisi itu. Karenanya menafsir nama al-Ghazali sesuai dengan prinsip yang telah menjadi pilihannya. Lalu, baginya, itu berarti bahwa al-Ghazali mengikuti jalan Cinta, jalan Kesufian (“benang wool”), yang artinya pekerjaan “memintal kesufian”. Al-Ghazali telah meninggalkan catatan-catatan kunci untuk diambil oleh para penggantinya, meliputi isyarat tentang keterjagaan sebuah doktrin batin (Fathimah, Pencelup) dalam konteks keagamaan yang ia alami.

Metodologi al-Ghazali diikuti oleh kelompok-kelompok Sufi dengan bermacam-macam variasi. Ia secara khusus mempertahankan penggunaan musik, untuk mengangkat persepsi-persepsi dalam buku Ihya’-nya — dalam hal yang semacam itu musik digunakan kaum Darwis dari Tarekat Mevlevi dan Chisytiyah. Di Barat, gubahan Ravel, Balero, sesungguhnya merupakan sebuah penyesuaian dari salah satu karya-karya musik yang dikomposisi secara khusus itu. Ia mengemukakan bahwa dalam upaya mengembangkan ke arah fakultas-fakultas lebih tinggi, kebanggaan diri harus dikenali dan dikalahkan. Bentuk-bentuk ini adalah bagian lain dari latihan dan studi Sufi. Ia memberi petunjuk bahwa kesadaran harus dialihkan, lebih baik daripada dikalahkan.

Itu sebenarnya digunakan dalam ungkapan khusus alkimia oleh para Sufi Abad Pertengahan yang bertanggung jawab atas sebagian besar kekacauan pikiran di kalangan peneliti-peneliti terakhir ini, perihal apa sebenarnya “alkimia” yang dimaksudkan. Sebagian menyatakan bahwa itu adalah sebuah bentuk samaran dari sebuah penyelidikan spiritual. Sebagian lagi menjawab, bahwa laboratorium-laboratorium para ahli alkimia telah diuji dan menunjukkan semua indikasi penggunaannya untuk eksperimen-eksperimen nyata. Karya-karya yang berasal dari para ahli alkimia spiritual telah digambarkan sebagai uraian kimiawi.

Al-Ghazali berkata demikian, “Emas alkimia lebih baik dari emas, tetapi ahli-ahli alkimia yang sebenarnya sangat jarang, karena itu merekalah Sufi-sufi yang sebenarnya. Tetapi orang yang punya sedikit pengetahuan kesufian tidak lebih baik dari seorang yang terpelajar.” (Kimiyya’us-Sa’adah).

Pertama kali perlu dicatat bahwa sebagian besar tradisi alkimia masuk ke Barat melalui sumber-sumber Arab dan apa yang disebut Lempengan Zamrud dari Hermes, the Thrice Greatest, bentuknya yang asli ditemukan di Arab. Lebih dari itu, perlu dicatat pula bahwa Sufi klasik yang pertama adalah Jabir bin al-Hayyan, dikenal sebagai sang Sufi, ahli alkimia dan okultis — Latin terkenal dengan Geber, yang hidup tiga abad sebelum al-Ghazali.

“Karya Agung” itu yang merupakan ungkapan terjemahan Sufi dan doktrin tentang mikrokosmos-makrokosmos (apa yang di atas sama dengan apa yang di bawah) juga terdapat dalam tradisi Sufi, dan diperkaya oleh al-Ghazali. Apabila Sufisme ternyata bukan ciptaan yang terikat pada suatu waktu tertentu, maka tak ayal lagi bahwa gagasan yang mirip mesti terdapat dalam tradisi-tradisi kebatinan asli lainnya. Kecuali kalau semua hal kebatinan itu benar-benar dipahami, maka pengamatan atas teori transmutasi dari yang kasar ke yang halus dari pijakan yang memadai, tiada lagi berguna.

Karya al-Ghazali Ihya’ Ulumiddin secara luas sangat berpengaruh di kalangan Muslim Spanyol (sebelum ia diakui sebagai ulama agung dalam Islam) karena mengandung pernyataan-pernyataan seperti:

Masalah pengetahuan Ilahiyah itu begitu dalam sehingga hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang mengalaminya. Seorang bocah tidak mungkin memahami jangkauan pengetahuan seorang dewasa yang sebenarnya. Seorang dewasa yang awam tidak mungkin memahami pencapaian seorang yang terdidik. Demikian pula seorang yang terdidik tidak mungkin memahami pengalaman-pengalaman para wall yang tercerahkan atau para Sufi.

Ihya’ mengandung penjelasan-penjelasan yang sangat penting dengan cinta ideal Sufi. Adapun perumpamaan manusia dengan sesamanya atau dengan makhluk seringkali digunakan. Dengan mengutip guru Sufi Malik bin Dinar, al-Ghazali menyatakan dalam Ihya’, Jilid IV “Seperti burung sejenis terbang bersama-sama, dua orang mempunyai kemampuan umum yang sama akan bergabung.”2

Al-Ghazali menjelaskan bahwa suatu “(pemakaian) pembauran dari (kata) seekor babi, seekor anjing, setan dan seorang wali” adalah titik pijak yang tidak lazim bagi pikiran yang berusaha mencapai pemahaman yang mendalam tentang hal-ihwal, dan pembauran ini tidak dapat dipahami melalui definisi. “Anda harus berhenti memandang sebuah bantal apabila sedang mencoba melihat sebuah lampu.”

Cara pembauran banyak hal adalah dibenarkan, sementara metode refleksi yang khas melalui pencerminan (penyamaan) ini harus dipahami dan dipraktekkan. Metode tersebut adalah pengetahuan sekaligus praktek yang merupakan hasil spesialisasi Sufi.

Teknik-teknik Sufisme tertentu untuk mencapai kemampuan mempelajari dan pembelajaran itu sendiri, seperti hikmah yang merupakan pencapaian terakhir, adalah hasil pendekatan kongkret. ‘Ada banyak tingkat pengetahuan,” tandas al-Ghazali. “Manusia secara fisik semata laksana semut berjalan di atas kertas, yang mengamati tulisan tinta dan hanya menghubungkan penulisannya dengan pena.” (Kimiyya’us-Sa’adah).

Apa hasil spesialisasi ini, selama dunia menjadi perhatian? Al-Ghazali menjawab dengan istilah-istilah khusus dalam Kimiyya. Sebagian orang mengendalikan tubuh mereka sendiri. “Para individu yang mencapai puncak kemampuan tertentu itu (mampu) mengendalikan tubuh mereka sendiri, demikian pula terhadap orang lain. Seandainya sebuah cacat di tubuh mereka ingin dipulihkan, maka ia tentu memulihkannya … Mereka mempunyai daya tarik atas orang lain karena suatu pengaruh kehendak.”

Ada tiga kualitas sebagai hasil dari spesialisasi Sufi yang dapat diungkapkan dengan istilah yang dapat dipahami pembaca awam:

Kemampuan ekstra persepsi, yang secara dasar dikerahkan.
Kemampuan mengeluarkan diri dari lingkungannya.
Kesadaran langsung atas pengetahuan. Bahkan apa yang biasanya sulit dicapai, mereka memahaminya melalui iluminasi atau pengamatan batiniah.

Kemampuan-kemampuan tersebut mungkin tampak khusus atau asing, namun semua itu sebenarnya hanya sebagian tingkat wujud atau eksistensi yang lebih tinggi, dan hanya dapat diterima orang awam melalui cara yang kasat ini. “Hubungan timbal balik (kesalingterkaitan) ini tidak dapat dijelaskan secara biasa; seperti dalam banyak hal lainnya, kita tidak dapat menjelaskan pengaruh puisi terhadap orang yang telinganya tidak dapat menangkapnya, atau pengaruh warna terhadap orang yang fungsi penglihatannya cacat.”

Al-Ghazali menjelaskan, manusia mampu hidup dalam beberapa taraf yang berbeda. Manusia biasanya tidak cukup tahu tentang kemampuannya untuk membedakan. Manusia (biasanya) berada pada salah satu taraf berikut ini. “Taraf pertama, ketika ia seperti seekor ngengat. Mempunyai penglihatan, tapi tidak mempunyai memori. Ia akan terus-menerus melapukkan (kain) dengan cara yang sama. Taraf kedua, ibarat seekor anjing, walaupun sedang lelah ia akan lari tunggang-langgang ketika melihat sebuah tongkat (pemukul). Taraf ketiga, seperti seekor kuda atau domba, keduanya akan segera lari ketika melihat seekor singa atau serigala yang merupakan musuh alami mereka. Namun keduanya tidak akan lari karena seekor unta atau kerbau, meskipun hewan tersebut lebih besar dari musuh turun-temurunnya itu.” Taraf keempat, manusia sepenuhnya melampaui keterbatasan-keterbatasan binatang tersebut. Kini ia mampu menggunakan beberapa kedalaman pandangan inderawi secara fungsional. Hubungan antara taraf yang berkenaan dengan daya penggerak tersebut dapat disetarakan dengan:

Berjalan di atas tanah.
Menumpang perahu.
Naik kereta.
Berjalan di atas laut.

Selain semua ini, ada yang mungkin menyatakan bahwa pada fase tertentu manusia dapat terbang di udara dengan kekuatan dirinya sendiri.

Orang biasanya berada pada salah satu dari dua taraf yang pertama. Dalam hal ini mereka tidak bertahan sebagaimana seharusnya. Dalam keadaan statis, mereka senantiasa bertentangan dengan orang-orang yang senantiasa dinamis.

Dalam karya metafisisnya, al-Ghazali jarang sekali mempersulit diri untuk memaksa orang mengikuti langkah Sufi. Namun, dalam satu ulasan pendek, ia benar-benar menandaskan satu argumen: “Jika apa yang dikatakan para Sufi itu benar — bahwa ada upaya sangat penting dalam hidup yang menunjuk suatu hubungan dengan masa depan manusia — maka ada banyak perkara di dunia masa depan itu. Di sisi lain, jika tidak ada hubungannya, maka sama sekali tidak ada persoalan.” Oleh karena itu, al-Ghazali mengajukan, “Tidakkah lebih baik membebaskan prasangka itu dengan menunjukkan sudut pandang tersebut? Selebihnya akan sangat terlambat.”

Selanjutnya, dalam Kimiyya’us-Sa’adah al-Ghazali kembali pada persoalan aspek psikologis musik. Ia mencatat bahwa mekanisme musik dan tari dapat digunakan untuk menggairahkan (hidup). Musik dapat menjadi sebuah metode untuk menciptakan dampak emosional. Namun ia mempertahankan bahwa ada sesuatu fungsimusik yang polos — musik yang tidak menimbulkan sentimen agama-semu — yang digunakan sebagai sarana ibadah.

Penggunaan musik di kalangan Sufi berbeda dengan penggunaan secara emosional. Sebelum seorang Sufi terlibat dalam kegiatan musikal, termasuk mendengarkan musik, pastilah ditentukan melalui pencermatannya, apakah musik tersebut akan berguna bagi pengalamannya.

Ada sebuah centa berhubungan dengan masalah ini yang menunjukkan bagaimana seorang guru Sufi (Syekh al -Jurjani) menjelaskan kepada seorang murid yang (dianggap) belum pantas mendengarkan musik dalam lingkaran Sufi sebagai tujuan penghayatan. Dalam menanggapi permohonannya, Syekh itu menjawab, “Berpuasalah selama seminggu. Kemudian ada masakan lezat dihidangkan untukmu. Jika engkau lebih suka pada kegiatan musikal, maka silahkan ikut!”

“Keterlibatan dalam musik dan ‘tari’ dalam setiap keadaan,” kata al-Ghazali, “bukan saja dilarang, namun sebenarnya berbahaya bagi calon murid.” Psikologi modern ternyata masih belum menyadari adanya fungsi khusus untuk meningkatkan kesadaran.

Realitas “ungkapan” pengalaman Sufii sangat sulit dipahami “orang luar” yang terbiasa berpikir dengan cara-cara yang berbeda dengan ungkapan itu. “Kelonggaran harus dilakukan kepadanya,” kata al-Ghazali, “karena ia tidak paham terhadap ungkapan-ungkapan itu. Ia laksana orang buta yang mencoba memahami pengalaman melihat dedaunan yang hijau atau aliran air.”

Paling jauh “orang luar” hanya dapat mempertalikan pengalaman yang disampaikan kepadanya sesuai dengan pengalaman-pengalamannya sendiri yang sensual, menggairahkan dan emosional. “Namun orang yang bijak tidak akan mengingkari ungkapan-ungkapan yang sederhana itu meskipun ia tidak mengalaminya; meskipun bentuk opini tersebut amat sangat bebal”.

Wawasan kalangan Deistis [kalangan yang percaya kepada Tuhan secara alamiah atau secara kultural (Deisme)] yang disebut pengalaman mistik itu, yang sama sekali tidak menghasilkan pengetahuan unggul dan hanya merupakan suatu bentuk (pengalaman) yang memabukkan, bukanlah satu-satunya pengalaman yang berusaha dilukiskan oleh al-Ghazali. Setidaknya ia cenderung menerima anggapan bahwa ada semacam perasukan Ilahi ke dalam diri manusia. Namun, seluruh penyampaian (pengalaman) lewat upaya penyulihan dengan sarana ‘kata’, yang secara adequate (memadai-makna) tidak akan terpenuhi, telah ditiadakan, bahkan mungkin ditentang. Seorang Sufi, pengulas al-Ghazali, mencatat bahwa hal-ihwal yang merupakan pengalaman komprehensif, “tidak dapat dikandungi (dilingkupi) dengan ungkapan secara lisan, lebih-lebih lagi apabila ia menganggap gambar buah di kertas dapat dimakan atau mengandung gizi.”

Upaya kalangan cendekiawan atau eksternalis (zhahiriyah) dalam memahami sesuatu — seolah-olah ia “mengetahui”-nya — dengan memaksakan pemakaian sesuatu yang berada “di seberang”, adalah “seperti seseorang yang bercermin, membayangkan bahwa wajahnya sama dengan kesan (bayangan) yang ada di cermin”.

Dalam pertemuan para darwis, ada semacam kejang ekstase dan tanda-tanda lain tentang pengalaman atau keadaan yang menyimpang. Al-Ghazali mengutip bahwa satu kali Syekh Junaid yang Agung menegur seorang pemuda yang mengalami “ceracau/kegilaan” pada suatu pertemuan Sufi. “Jangan pernah lakukan itu lagi, atau tinggalkan majelisku!” tandas Junaid kepadanya. Kepercayaan Sufi adalah, bahwa peristiwa semacam itu yang mungkin berasal dari perubahan-perubahan batin adalah semu atau emosional semata. Adapun pengalaman yang sejati tidak menimbulkan gejala fisik sedemikian itu, baik berupa “ungkapan secara lisan” atau bergulir-gulir di lantai. Dalam Riyadh al-Asrar (Kebun Rahasia), Sufi termasyhur Mahmud Syabistari mengulas, “Apabila engkau tidak mengetahui ungkapan-ungkapan ini, biarkanlah, jangan pula bergabung dengan orang kafir dalam ketidaktahuan yang semu … Namun mereka semua tidak mempelajari rahasia-rahasia jalan itu.”

Pembuktian-pembuktian tersebut sedikit banyak berkaitan dengan emosi penggunaan kata-kata yang melemahkan dan akhirnya meruntuhkan agama formal. Membuat ungkapan-ungkapan yang berkait dengan Tuhan, keimanan, atau setiap agama, merupakan persoalan eksternal, paling banter sesuatu yang emosional. Karena itu, kalangan Sufi tidak akan membahas Sufisme dalam konteks yang sama dengan agama. Sementara berbagai taraf itu termasuk dalam Sufisme.

Konon, ada pengalaman batin yang dapat dilihat sebagai fraseologi agama yang lazim, yaitu ungkapan-ungkapan tertentu yang sepenuhnya mengandung makna, karena terjadi peralihan dari yang kasar ke yang lebih halus. Al-Ghazali menggambarkan fakta ini melalui sebuah kisah. Mahaguru Sufi Fudhail bin Iyadh (w. 801) berkata, “Apabila ada yang bertanya, ‘Apakah engkau mencintai Tuhan?’ Jangan engkau jawab! Karena jika engkau jawab,’Aku tidak mencintai Tuhan,’ berarti engkau seorang yang tidak percaya (kafir). Namun, jika engkau menjawab, ‘Aku benar-benar mencintai Tuhan,’ maka perbuatan-perbuatanmu akan bertentangan dengan ucapanmu itu’.”

Apabila seseorang memahami tentang cinta religius, ia tentu akan mengungkapkannya dengan cara sendiri, bukan menurut cara yang lazim bagi orang-orang yang tidak mengetahuinya. Setiap orang akan terangkat (kedudukannya) atau sebaliknya sesuai dengan kemampuan dirinya dan apa yang diakrabinya. Al-Ghazali berkisah: “Seseorang pingsan karena menghirup parfum bazar, kemudian orang-orang mencoba menyadarkannya dengan aroma yang manis. Datanglah orang yang mengenalnya, lalu berkata, ‘Aku dulu tukang sapu, orang itu juga. Ia akan sadar apabila mencium (aroma) yang terbiasa baginya.’ Maka dzat yang aromanya memuakkan dioleskan di hidungnya, seketika ia sadar kembali.”

Bentuk pernyataan ini pada umumnya merupakan anathema (gugatan) terhadap mereka yang mencoba menyetarakan kesan-kesan biasa dengan tataran wujud yang lebih tinggi, dan menganggap bahwa mereka setidaknya mengalami tingkat-tingkat ketuhanan atau mistik hanya menurut — dan tidak lebih dari — tingkat-tingkat akar rumput (awam). Bentuk awam ini memang sesuai dengan konteksnya dan tidak dapat ditransposisi. Sepeda motor tidak dapat berjalan bila diisi dengan mentega, meskipun mentega sendiri adalah bahan yang sangat istimewa. Bagaimana juga, tak seorang pun bermaksud menyetarakannya dengan bensin. Doktrin Sufi tentang suatu kesatuan rangkaian dzat murni, dalam hal ini, akan dilihat sebagai benar-benar berbeda dengan kemurnian sistem lainnya. Dua madzhab yang lain mempertahankan bahwa dzat keseluruhannya pasti musnah, atau pasti digunakan. Secara faktual, tingkat dzat mempunyai fungsinya sendiri; dan dzat selanjutnya meningkatkan kemurniannya sehingga ia menjadi apa yang pada umumnya dianggap terpisah, yaitu spirit (jiwa).

Al-Ghazali menjelaskan doktrin itu: “Memahami berbagai fungsi yang tampaknya sama itu pada tataran-tataran yang berbeda adalah penting (dan perlu), contohnya: mata mungkin melihat benda yang besar tampak kecil, seperti ia melihat matahari sebesar mangkok … Akal menyadari bahwa matahari ternyata beberapa kali lebih besar dari bumi … Kemampuan berimajinasi dan berfantasi seringkali menghasilkan kepercayaan dan melampaui pendapat (keputusan) yang mereka anggap sebagai hasil pemahaman. Maka dari itu, kekeliruan ini adalah proses bawah sadar berupa ketidaksadaran atau ketidakpekaan (rasa).” (Misykatul Anwar, bagian yang pertama). Yang dimaksud ketidakpekaan menurut al-Ghazali adalah mengacu kepada orang-orang yang tidak mampu memahami kesan-kesan dan makna yang beragam. Di antara beberapa hal penting tentang “diri” di dalam Ihya’.

“Diri” adalah suatu serapan personalitas manusia, yang digunakan untuk menangkap kesan-kesan dan mempergunakan kesan-kesan untuk pemuasan (jiwa), namun juga berarti kualitas individu yang batiniah dan hakiki. Menurut kapasitas ini, nama formanya berbeda sesuai dengan fungsinya. Manakala esensi itu menjalankan secara benar reorganisasi kehidupan emosional dan mencegah kebingungan, maka itulah yang dikenal sebagai “Diri yang Tentram” [an-Nafs al-Muthma'innah]. Dalam penerapan kesadaran, ketika ia sedang menyadari laki-laki atau perempuan sebagai materi yang berbeda, maka kesadaran itu disebut “Diri yang Cenderung”. Namun dalam hal ini, ada persoalan yang sangat pelik karena, untuk tujuan penjelasan dan pengajaran, “Diri yang Hakiki” itu harus dinamai. Kendati demikian, pembedaan cara kerjanya sesuai dengan penampilan dapat memberikan kesan bahwa ada sejumlah hal yang berbeda atau bahkan ada tingkat perkembangan yang berbeda. Adalah absah merepresentasikan proses itu sebagai tahap-tahap yang secara sadar disusun, tetapi paling jauh hanya sebagai perbedaan ilustratif Kesadaran Sufi yang diterapkan secara benar akan melihat berbagai tahap transmutasi hakikat itu dengan cara yang istimewa dan khas, yang secara memadai, tidak disalin dengan terminologi yang lazim. Manakala hakikat itu diterapkan secara normal bagi orang yang terbelakang (secara mental), maka ia mengarahkan potensialitasnya pada mekanisme yang (hanya) memperturutkan kepuasan-kepuasan bersahaja, dan kesadaran ini dikenal sebagai “Diri yang Terpimpin”.

Al-Ghazali menandaskan, “Keadaan-keadaan khusus itu mudah dipahami dan mengesankan bahwa setiap hal juga mudah dipahami. Akan tetapi ada situasi-situasi yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang meniliknya dengan suatu cara tertentu (yang istimewa). Ketidaktahuan pada (mekanisme) ini menimbulkan kesalahan-kesalahan umum yang menganggap segala hal sebagai sesuatu yang seragam.”

Seperti pada guru Sufi yang lain, al-Ghazali menyadari bahwa ia harus mengulang argumennya dengan cara-cara yang berbeda sebagaimana dituntut dalam teksnya. Hal ini hanya sebagian saja, karena metode Sufi mungkin membutuhkan pijakan yang sama untuk dibahas melalui sejumlah gagasan-gagasan lainnya, dan karena, seperti seringkali disaksikan dalam diskusi kelompok, orang mungkin (hanya) berlagak dalam mengungkapkan suatu gagasan penting yang belum dipahaminya. Gagasan sebenarnya harus diolah sebagai kekuatan dinamis dalam pikiran murid. Bagaimana juga, karena ia terkondisi dan terlatih, murid akan menerima sebuah gagasan sebagai suatu yang terbiasa. Hasil kegiatan ini akan tampak apabila ia merespon secara sadar ketika stimulus gagasan tertentu diterapkan kepadanya. Pengkondisian mana pun, ketika telah terjadi, harus dihentikan sebelum dampak pengalaman sang Sufi dapat mewujudkan diri.

Kesalahpahaman dalam pemakaian istilah “Anak Tuhan” (yang disifatkan kepada Yesus) dan “Ana al-Haqq” (yang diungkapkan sang Sufi al-Hallaj)3 sebenarnya disebabkan oleh persoalan tersebut. Upaya mengungkapkan keadaan-keadaan itu melalui bahasa tidaklah memadai, karena ungkapan tersebut menimbulkan kesalahpahaman.

Dalam Ihya’ al-Ghazali menyatakan bahwa individu mengalami tahap-tahap perkembangan batin yang analog dengan manusia yang tumbuh dewasa. Perkembangan bertahap ini menyebabkan penggunaan cara-cara yang berbeda dalam pengalamannya. Karena itu, seorang Sufi tidak membutuhkan pengalaman fisik tertentu, sebab perkembangannya telah menyulih suatu kemampuan menjadi lebih logis, pengalaman yang lebih bermutu. “Sebagai contoh, setiap tingkat kehidupan ditandai dengan suatu kesenangan yang baru. Anak-anak senang bermain dan tidak mempunyai konsepsi tentang perkawinan yang menyenangkan itu, yang akan mereka alami suatu saat. Selanjutnya orang dewasa, pada waktu mudanya, tidak akan mempunyai kemampuan (merasakan) kesenangan (memiliki) kekayaan dan kemasyhuran yang dialami kelompok usia setengah baya. Kemudian yang terakhir ini, mungkin menganggap kegembiraan terdahulu tidak lebih nyata daripada saat sekarang. Individu pada perkembangannya, tentu, akan menyadari ketaksempurnaan, ketidakpekaan atau kebiasaan sporadis masa remaja yang menyenangkan itu dibandingkan dengan kemampuan-kemampuan apresiasi mereka yang baru.”

Alternasi (pemakaian) berbagai kiasan itu, yang mencegahnya terkristalisasi menjadi semata-mata pengubahan mekanisme, merupakan prosedur umum dalam pokok pengajaran madzhab-madzhab Sufi. Di dalam karya-karyanya, al-Ghazali kerapkali menyulih pengajarannya dengan pengertian lahir apabila mempunyai makna batin yang sama. Dalam Minhajul-Abidin, ia membahas tentang kemajuan bertahap dari kimiawi kesadaran sebagai tujuh “lembah” pengalaman: Lembah Pengetahuan, Kembali (Tobat), Rintangan-rintangan, Godaan-godaan, Cahaya, Jurang-jurang dan Pujian. Semua ini merupakan rangka proyeksi risalah Sufi yang lebih teologis dan merupakan media perantara, sehingga kalangan Muslim dan Kristen yang saleh mampu memetik manfaat tentang ajaran Sufi. Menarik untuk dicatat bahwa Bunyan dan Chaucer telah menggunakan bahan ajaran Sufi ini untuk memperkuat pemikiran Katholik. Adapun para guru Timur seperti Aththar dan Rumi mempertahankan hubungan dengan arus pemaknaan yang lebih langsung dari tema “pencarian”; hal ini mungkin karena mereka adalah guru-guru praktek, namun juga teori, dalam lingkungan madzhabnya.

Kebahagiaan manusia, menurut al-Ghazali, secara berturut-turut menjalani pemurnian sesuai dengan “keadaan wujud”-nya. Ajaran ini, yang tidak akan terpahami pandangan manusia biasa tentang adanya bentuk standar kebahagiaan, sebagai suatu abstraksi, merupakan suatu ciri-ciri yang kuat dari pengetahuan Sufi.

Manusia mempunyai beberapa kemampuan, masing-masing menanggapi tipe kesenangannya sendiri. Pada mulanya ada tipe fisikal. Demikian pula ada fakultas moral, yang saya sebut akal sejati, yang menyenangi perolehan pengetahuan sebanyak mungkin. Jadi ada kegemaran lahir dan batin. Demikian pula keduanya akan dipilih menurut pemurniannya.

“Seorang manusia yang mempunyai suatu kemampuan menerima kesempurnaan Wujud akan memilih kontemplasi. Bahkan dalam kehidupan ini, kebahagiaan pengembara yang sejati adalah tiada tara — lebih agung daripada yang mungkin dibayangkan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar